Dokumentasi: Jujaruh


Ternate —Jujaruh Maluku Utara kembali menggelar diskusi Online  Perempuan Bacarita    Sabtu, 29 November 2025.  dengan mengangkat tema “Ruang Aman bagi Kaum Perempuan dalam Sistem Patriarki: Bagaimana Jalan Keluarnya?”. Diskusi ini lahir dari kegelisahan atas meningkatnya angka kekerasan berbasis gender di Indonesia.  Data Komnas Perempuan mencatat 445.502 kasus kekerasan dengan lebih dari 300 kasus berbasis gender, sementara di Maluku Utara, korban terbanyak justru adalah anak. 


Angka ini menggambarkan bagaimana ruang gerak perempuan bahkan sejak kecil terus dikontrol dan dipersempit oleh budaya patriarki.


Patriarki, Kapitalisme, dan Hilangnya Ruang Aman


Pemateri pertama dari Kawan Puan menegaskan bahwa patriarki hari ini tidak hanya mengganggu ruang aman tetapi juga menghilangkan rasa aman perempuan secara total


Ia menjelaskan bahwa patriarki bekerja melalui pengawasan tubuh, sikap, suara, bahkan gerak-gerik perempuan di ruang domestik dan publik. “Watak patriarki adalah seksis, sehingga kekerasan sering dianggap candaan,” ujarnya. 


Patriarki tidak berdiri sendiri; kapitalisme memperkuatnya melalui struktur kelas dan ketimpangan gender yang semakin mengakar.


Menurutnya, sejarah peradaban manusia bukanlah sejarah patriarki itu sendiri, melainkan bagaimana patriarki menjadi “kaki tangan” yang merapikan kerja-kerja kapitalisme. 


Budaya ini juga tercermin di kampus-kampus, di mana suara perempuan sering diabaikan.


Kapitalisme, Determinasi Ekonomi, dan Kritik terhadap Feminisme


Pemateri kedua, Hartini Muhammad, menekankan bahwa patriarki tidak lenyap sekalipun kapitalisme dihancurkan


Ia menyoroti pentingnya mempelajari basis ekonomi sebagai suprastruktur dan mengingatkan bahwa patriarki telah hadir jauh lebih awal sejak munculnya kepemilikan pribadi dalam keluarga. Mengutip berbagai teori, ia menjelaskan bagaimana feminisme modern juga perlu mengkritisi legalisme gender dan antihumanisme sebagai pijakan untuk membongkar akar patriarki.


Menurutnya, jalan keluar harus dimulai dari penghancuran stigma, pembangunan kesadaran, dan gerakan komunitas seperti yang dilakukan Jujaruh.


 “Jika kita tidak menantang patriarki dalam diri, maka revolusi akan gagal,” tegasnya.



Generasi Gen Z, Akses Pendidikan, dan Tantangan Sosial Budaya


Pemateri ketiga, Kawan Jeny, mengulas kondisi perempuan di era Gen Z dan Alfa. Menurutnya, perempuan kini mengalami berbagai kemajuan di pendidikan maupun politik, tetapi tantangan sosial-budaya masih kuat. Ia menekankan tiga langkah penting: meningkatkan kesadaran kritismenguatkan organisasi perempuan yang memanfaatkan teknologi, dan memperluas akses pendidikan.


Ia juga menyoroti fenomena “menunggu viral” sebelum kasus kekerasan ditangani, serta pentingnya edukasi sejak dini bahwa perempuan bukan lemah lingkunganlah yang membentuknya.


 “Feminis bukanlah perjuangan melawan laki-laki, tapi melawan sistem dan lingkungan yang menciptakan kekerasan,” katanya.


Dialog dan Perdebatan: Antara Sejarah Patriarki, Kelas, dan Solidaritas


Diskusi semakin kritis ketika peserta mulai menanggapi pemaparan pemateri. Ulan Sari, misalnya, mempertanyakan hubungan antara kapitalisme dan patriarki, dengan menegaskan bahwa patriarki muncul jauh sebelum kapitalisme. Pemuda Revolusioner Vallejo menambah debat dengan menekankan pentingnya melihat kelas dalam solidaritas perempuan. 


Namun Kawan Jeny menegaskan bahwa solidaritas perempuan harus bersifat inklusif dan berasas kesetaraan.

Sementara itu, Pak Mansur Jamal dari biro kemahasiswaan menyoroti praktik patriarki di kampus dan menanyakan strategi pemulihannya. 


Jeny menjawab bahwa perubahan membutuhkan waktu, kebijakan tegas, pengawasan budaya, dan partisipasi aktif perempuan.


Diskusi juga menyentuh bentuk penindasan terhadap perempuan borjuis, candaan seksis di lingkungan kampus, serta komitmen gerakan yang harus dimulai dari diri sendiri.



Kesimpulan: Melawan Patriarki dari Diri, Komunitas, dan 


menyimpulkan bahwa patriarki yang mengakar jauh sebelum kapitalisme telah mempersempit, mengontrol, bahkan menghapus ruang aman perempuan. Kapitalisme kemudian memperkuat bentuk penindasan tersebut melalui ketimpangan kelas, eksploitasi, dan kontrol sosial.


Untuk keluar dari lingkaran ini, peserta sepakat pada empat langkah kunci:


  1. Membangun kesadaran kritis dalam diri perempuan dan laki-laki.
  2. Memperkuat ruang aman berbasis komunitas seperti Jujaruh.
  3. Mengembangkan solidaritas perempuan lintas kelas.
  4. Mendorong kebijakan tegas di kampus dan institusi publik untuk menghapus budaya seksis.

Notulensi Jujaruh
Juladhawati rasid