Pernyataan Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, dalam aksi Mahasiswa  Kota Ternate 1 September 2025, terkait 11 tahanan Maba Sangaji menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. 

Melalui sebuah video yang yang beredar di media sosial, yang kini menuai kritik tajam dari kalangan publik termaksud Aktifis Perempuan Maluku Utara.  Mulai dari pernyataan yang tidak mendasar hingga, ketidak-pahaman masalah yang dihadapi Masyarakat Maba Sangaji yang saat ini ditangkap. 


Dari sudut pandang ekofeminisme, kerusakan alam dipandang selaras dengan kerusakan pada tubuh perempuan. Pernyataan Sherly Laos dinilai merepresentasikan bentuk intimidasi terhadap perempuan adat sekaligus 11 tahanan Maba Sangaji yang sedang memperjuangkan hak atas tanah leluhur mereka.


“Pernyataan gubernur menunjukkan wajah pemerintah yang cacat secara struktural dan moral, tanpa empati dan simpati pada rakyatnya. Jika pun ada, itu hanya sebatas pencitraan,” ungkap Manda, perempuan yang bergelut di isu-isu kesetaraan gender. 


Ia juga mengatakan Sherly Laos lebih mementingkan posisinya sebagai pemegang saham di sejumlah industri tambang serta membuka peluang bagi investor asing untuk mengeksploitasi sumber daya Maluku Utara. 


Akibatnya, perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan tanahnya justru diposisikan sebagai tindakan kriminal.


Julia menambahakan bahwa, Manusia dan alam saling membutuhkan, saling memenuhi satu sama lain. Ketika 11 masyarakat Maba Sangaji dijadikan tahanan, itu bukan karena mereka kriminal, melainkan karena mereka dianggap ancaman bagi para investor.


“Padahal mereka adalah saudara, orang tua, dan warga yang masih sadar akan dampak kerusakan. Mereka yang berjuang mempertahankan tanah justru dicap sebagai premanisme. Mereka punya kebun yang dirawat seperti anak, serta tanah, air, dan laut yang dijaga seperti seorang ibu yang memberi kehidupan” unkapnya. 


Selain itu, mereka juga menyesalkan minimnya kepedulian pemerintah terhadap dampak ekologi akibat ekspansi industri ekstraktif. Perempuan dan anak-anak di wilayah lingkar tambang yang disebut sebagai kelompok paling rentan yang harus menanggung beban kerusakan lingkungan, namun keberadaan mereka kerap diabaikan dalam kebijakan pemerintah.