![]() |
Perempuan berhak atas kesehatan reproduksi yang aman, atas tanah yang mereka rawat turun-temurun, atas kerja yang mereka lakukan tanpa eksploitasi, dan atas suara yang sering dibungkam oleh struktur patriarki maupun kapitalisme ekstraktif.” |
Indonesia merdeka bukan hanya berarti lepas dari penjajahan kolonial, tetapi juga dari segala bentuk penindasan yang membuat sebagian rakyatnya tidak bisa hidup setara. Kemerdekaan 80 tahun seharusnya bukan hanya perayaan, tetapi juga pengingat, sudah sejauh mana bangsa ini menghadirkan ruang hidup yang adil bagi semua warganya, terutama perempuan, kelompok minoritas, masyarakat adat, dan mereka yang paling sering dilupakan?
Dalam pendekatan feminis, kemerdekaan sejati tidak cukup diukur dari kedaulatan politik atau capaian pembangunan ekonomi semata. Kemerdekaan sejati harus menyentuh tubuh, ruang, dan kehidupan perempuan. Sebab sejarah Indonesia menunjukkan, meski bangsa ini mengaku merdeka, perempuan kerap masih dipinggirkan, dalam kebijakan pembangunan, dalam pengambilan keputusan, bahkan dalam narasi resmi sejarah kemerdekaan itu sendiri.
Sehingga ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan hanya soal berdiri tegak di hadapan bangsa lain, melainkan juga soal kemampuan setiap warga negara untuk menentukan masa depan tubuh dan kehidupannya sendiri.
Perempuan berhak atas kesehatan reproduksi yang aman, atas tanah yang mereka rawat turun-temurun, atas kerja yang mereka lakukan tanpa eksploitasi, dan atas suara yang sering dibungkam oleh struktur patriarki maupun kapitalisme ekstraktif.
Ketika perempuan masih harus melahirkan dengan risiko tinggi karena fasilitas kesehatan minim, ketika buruh perempuan di pabrik dan tambang masih diabaikan hak reproduksinya, ketika perempuan adat dipaksa melepaskan tanahnya untuk tambang atau perkebunan, maka itu artinya kemerdekaan belum sepenuhnya hadir.
Membongkar Penindasan Berlapis
Pendekatan feminis menuntun kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan untuk membongkar ketidakadilan yang berlapis.
Penindasan terhadap perempuan tidak hanya datang dari satu sumber, melainkan bertumpuk: diskriminasi gender, kekerasan berbasis tubuh, eksploitasi kerja, perampasan ruang hidup, hingga suara yang diremehkan dalam ruang politik.
Sementara negara sering mengklaim “pembangunan” sebagai bukti kemerdekaan, kita perlu bertanya, pembangunan untuk siapa? Apakah ia memberi ruang aman bagi perempuan, atau justru memperbanyak masalag dengan merampas tanah dan meminggirkan kehidupan komunitas lokal? Kita tidak menelan begitu saja narasi kemajuan, tapi mengukurnya dari apakah hidup perempuan sebagai penjaga kehidupan menjadi lebih bermartabat.
Dalam semangat itu, “Indonesia Merdeka” berarti Indonesia yang memberi ruang aman bagi perempuan untuk menyuarakan pengalaman, memimpin pengambilan keputusan, dan menikmati hasil pembangunan secara adil. Kemerdekaan bukan hanya deklarasi yang diperingati setiap Agustus, tetapi proses yang dijalani setiap hari dalam kehidupan rakyat.
Merdeka, bukan sekadar kata seruan politik, melainkan hadir ketika seorang buruh perempuan berani menuntut haknya di hadapan perusahaan yang menindas. Merdeka adalah ketika seorang ibu bisa melahirkan dengan aman, tanpa takut ditinggalkan atau dianggap beban. Merdeka adalah ketika suara perempuan adat dihormati dalam menjaga hutan dan laut sebagai sumber kehidupan. Merdeka adalah ketika anak perempuan bisa bermimpi tanpa batasan yang dipaksakan oleh norma patriarki.
Dengan demikian, kemerdekaan adalah proses pembebasan yang terus menerus dari tubuh, dari ruang, dan dari sistem yang menindas.
Indonesia Merdeka 80 Tahun Saatnya Mendengar Suara Perempuan
Kita perlu menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah milik segelintir elit politik atau pemodal besar, melainkan milik semua rakyat, terutama mereka yang paling sering dilupakan. Perempuan di desa, buruh migran, nelayan kecil, masyarakat adat, pekerja tambang, anak-anak yang tumbuh di sekitar wilayah industri merekalah wajah sejati Indonesia.
Ketika kita bicara kemerdekaan, kita harus berani mengakui bahwa tanpa keadilan gender, kemerdekaan bangsa ini masih pincang. Sebuah bangsa tidak bisa disebut merdeka bila separuh rakyatnya masih hidup dalam ketidakadilan.
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah waktu yang cukup panjang untuk belajar. Sudah saatnya bangsa ini berani melihat kenyataan bahwa pembangunan yang tidak berperspektif feminis hanya akan memperdalam ketimpangan. Suara perempuan harus menjadi bagian penting dalam setiap perumusan kebijakan, bukan hanya disimbolkan dalam seremonial semata.
Suara ibu yang melahirkan generasi, suara buruh perempuan yang menopang industri, suara perempuan adat yang menjaga hutan dan laut, suara anak perempuan yang bermimpi masa depan lebih adil semua adalah denyut kemerdekaan yang nyata.
Karena itu, memperingati Indonesia merdeka 80 tahun, kita diajak bukan hanya untuk mengibarkan bendera, tetapi juga mengibarkan kesadaran baru: bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang adil gender, berpihak pada kehidupan, dan menolak segala bentuk eksploitasi.
0 Komentar