![]() |
Dok: Aksi Depan Kantor Wali Kota Ternate |
“Sebagai seorang perempuan, saya tak bisa berdiam diri melihat ketidakadilan yang menimpa 11 warga Maba Sangaji yang ditangkap hanya karena mempertahankan tanah adat mereka.”
Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya hamparan kosong yang bisa diukur dengan hektar dan dinilai dengan rupiah. Tanah adalah warisan leluhur, ruang spiritual, sumber pangan, dan identitas kolektif yang mengikat kami dengan alam. Di atas tanah itu, perempuan melahirkan, membesarkan anak, menanam harapan, dan merawat kehidupan. Merampas tanah berarti merampas masa depan kami.
Sebagai perempuan, saya tahu betul siapa yang pertama kali merasakan dampak ketika tambang masuk. Dapur kami kehilangan bahan pangan, sumber air bersih tercemar limbah, anak-anak tak lagi punya tempat bermain, dan penyakit mulai menghantui. Tambang bukan hanya menggali tanah, tetapi meruntuhkan ekosistem sosial dan budaya yang sudah ada selama ratusan tahun.
Komnas Perempuan mencatat bahwa, perampasan wilayah adat secara langsung berdampak pada perempuan: hilangnya akses pangan berbasis hutan, beban ganda untuk memenuhi kebutuhan keluarga, serta ancaman kesehatan dan intimidasi fisik. Ketika tambang mencemari sungai, perempuan kehilangan air bersih dan sumber pangan. Seperti yang terjadi pada kelompok perempuan adat Sawai di Halmahera Tengah mereka kini harus membeli air galon dan sulit mencari ikan di sungai dangkal
Suatu kemajuan terstruktur tidak akan dapat dinikmati secara layak, jika martabat manusia serta alam di eksploitasi lebih banyak, karena sejatinya pembangunan adalah demi memepertahankan martabat manusia.
Tindakan penangkapan 11 Warga Maba Sangaji tidak hanya melukai hukum, tetapi juga merendahkan martabat manusia. Dan penangkapan ini bukan hanya tentang mereka yang diborgol, tetapi juga tentang kami yang kehilangan rasa aman. Ini adalah pesan intimidasi agar masyarakat takut melawan. Namun, kami, para perempuan; anak, cucu, istri serta ibu dari 11 tahanan warga maba sangaji, tidak akan diam. Kami akan terus bersuara, akan terus membela keadilan karena mempertahankan tanah berarti mempertahankan kehidupan.
Kami mendesak pemerintah untuk segera membebaskan 11 Tahanan Politik Maba Sangaji yang ditahan dan menghentikan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Cabut izin PT Possition, Pelibatan penuh perempuan adat dalam setiap proses izin tambang, sesuai UUD dan prinsip hak asasi dan kembalikan hak masyarakat adat untuk menentukan nasib ruang hidupnya.
Bagi kami, tanah bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah rahim yang melahirkan generasi, sumber air, udara, dan pangan. Jika tanah mati, kita semua akan ikut mati. Itulah sebabnya saya serta perempuan lainnya di luar sana masih peduli, tetap berdiri tegak, bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk menjaga agar kehidupan tetap ada.
0 Komentar