Hari Buruh Internasional telah berlalu. Namun, bagi perempuan pekerja di Indonesia, perayaan itu nyaris hampa makna. Mereka masih terus menghadapi realitas kekerasan di tempat kerja baik secara fisik, verbal, seksual, maupun ekonomi yang tak kunjung mendapat perhatian serius dari negara.

Data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2024 mencatat 2.702 kasus kekerasan terhadap perempuan pekerja. Di sisi lain, laporan Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sebanyak 77.965 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun itu peningkatan lebih dari 20% dari tahun sebelumnya. 

Mayoritas korban berasal dari sektor-sektor yang padat karya dan didominasi perempuan: tekstil, garmen, jasa, perdagangan, hingga pertambangan. Mereka menghadapi ketidakpastian ekonomi, tekanan kerja, beban ganda rumah tangga, hingga kekerasan yang mengancam fisik dan martabat.

Namun negara tampak absen. Kebijakan yang lahir dari meja kekuasaan justru kerap berpihak pada kepentingan pemodal. PHK massal yang terjadi di berbagai perusahaan besar, seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang memberhentikan lebih dari 10.000 karyawan sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025, hanyalah satu dari sekian contoh dampak kegagalan perlindungan tenaga kerja di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Ironisnya, saat buruh berharap THR di bulan Mei, yang mereka terima justru kenyataan pahit: kehilangan pekerjaan dan tekanan ekonomi yang semakin mencekik.

UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi angin segar. Tapi, pelaksanaannya di dunia kerja masih jauh dari ideal.

 Komnas Perempuan mencatat banyak kasus kekerasan seksual terjadi di institusi yang seharusnya menjadi contoh: lembaga pemerintahan, LSM, perusahaan swasta, hingga dunia hiburan. Yang lebih menyedihkan, setidaknya 20 perusahaan dilaporkan karena tidak responsif terhadap laporan kekerasan, bahkan menolak memprosesnya. 

Ini menegaskan bahwa masih belum ada sistem pengaduan yang aman, adil, dan berpihak pada korban.

Pada tahun 2019, dunia menyambut Konvensi ILO No. 190 dan Rekomendasi 206 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Indonesia turut serta dalam deklarasi tersebut. Namun, lima tahun berlalu, dampaknya masih tak terasa di akar rumput. Kekerasan masih terjadi secara sistematis. 

Negara tidak hadir sebagai pelindung, melainkan sebagai penonton pasif—atau bahkan, pelaku lewat kebijakan-kebijakan yang menindas.

Kekerasan terhadap perempuan pekerja bukanlah sekadar persoalan moral, melainkan juga persoalan politik dan struktural. Ia lahir dari sistem yang menempatkan perempuan di posisi yang lemah dan bisa dieksploitasi, baik oleh perusahaan, atasan, maupun negara itu sendiri.

Jika negara terus menutup mata terhadap jeritan perempuan pekerja, maka sesungguhnya negara sedang melegitimasi kekerasan itu sendiri.

Penulis Puan Liar