Bagian, 1

Prosa: Hutan dan Cahaya Kota


I

Adakah yang lebih indah dari hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, ketika mereka tak pernah tau, melihat, dan merasakan keberkahan hutan. Mereka tak menikmati cahaya kota? 

II

Tidak, mereka tak bisa menemukan keabadian hidupnya, keindahan hutan yang hijau, gunung dan air mengalir yang tinggi jatuh kebawah dengan jernih, sungai yang bersih dan sehat, seperti fitrah manusia yang bahagia. 

III

Air yang dingin, hangat, cahaya pagi dan senja yang membaluri hidup juga seperti malam yang gelap, sunyi dan tenang. Kekompakan kerja manusia mungil---bagi batu kebahagiaan yang tidak bisa ditumpas gunung kedustaan dan keserakahan. 

IV

Mereka menemukan cakrawala hidup itu di tempat rimbah yang indah, tak lagi hijau, bersih, sejuk dan akar kehidupan yang bertahan pada tanah harum setelah hujan membasahinya. Suara angin yang berbisik dengan lembut, kicauan burung bercinta, menari menikmati pagi dan senja.

V

TAKZIM: mereka cinta dan menyayangi hutan, tanah, dan segala yang memberi kehidupan---tapi di rampas dan ditumpas. Hutan dan kota adalah pemisah yang agung, dari manusia serakah melangkahi hukum alam. Atas nama ketamakan, uang, dan kekuasaan tak ada cahaya mercusuar yang memberi penerangan pada manusia iblis yang mati tubuhnya, hidup jiwa rakusnya. 

VI

Inilah prosa: yang mengutuk kehancuran hutan, memusnahkan pohon kehidupan, mata air keindahan, gunung pejuangan, dan tanah keagungan. Tentang arti cahaya pada kota yang penuh kejahatan hasil dari merampas hutan dan merusaknya. 

29 Juli 2023




Bagian, 2

PROSA TERUSIR:  (untuk mereka yang berjuang di desa dan di kota) 


Gedung yang dikelilingi pabrik, bolduser dan tumpukan keringat kerja manusia "kaum kelas pekerja;" dihiasi tenggelam gemerlapnya lampu cahaya, diatas hamparan tanah yang luas nan rimbun pepohonan hijau, di punggung sebuah bukit yang landai---terlihat memerah tanpa dedaunan dan rerumputan "hijau tumbang" dan "merah tandus". Inilah musibah!

Kekayaan, kekuasaan, ketenaran dan kerakusan manusia melanggar hukum alam:

Mengingat patuah masa muda; "pergi Belanda, datang Jepang. Pergi Jepang datang kemerdekaan republik. Soekarno jatuh, muncul orde baru kekuasaan Soeharto dan Bala Tentara---jatuh Soeharto datang Reformasi 1998. Soeharto jatuh, reformasi datang: akselerasi modal, karpet merah investasi, formasi elit, politik, hukum, korupsi, dan nilai-nilai budaya lama tidak tumbang. TAMBANG, GUSUR, TANGKAP, PENJARA, USIR dan BUNUH. 

Manusia: Alam dan Kehidupan Yang Hening!! 

Organik Yang Harum: Hijau alam, tanah subur, bukit gunung nan bersih, suci, pohon rimbun, bumi memberikan berkah kehidupan; rachmat bagi manusia dan makhluk hidup. Hidayah bagi jiwa dan raga manusia memenuhi kebutuhan materill dan sprituill. Di dalam rimbah ada manusia baik hati, beradab, dan tak merusak alam---namun mereka terusir, lalu meratap kesunyian kelam, menangis, melawan, sedih, ingin menang, menciptakan arah, tapi kalah dan diburu-buru bagai bintang liar saja. 

Dakwaan:

Sumpah, ini semua berubah jadi merah, tandus dan bara api yang murka. Tanah indah nan elok, harum yang menusuk sampai ke tulang sum-sum, "jadi" merah---semua terampas. Mata air yang bersih rusak dengan kotoran limbah, akar pohon tercabut, tumbang, berguguran maratap kesedihan, burung-burung tak bersiul menari dan bernyanyi, tak ayal pula bercinta dengan kasih. 

Langit Menumpahkan Hujan Kutukan:

Turun air hujan---menjadi laknat terhadap anak cucu patuah, tidak ada lagi kasih, cinta dan sayang memberi berkah pada tanah (bumi-manusia); semua rusak, pohon-pohon kehidupan---tak lagi bernyawa---menjadi ritual manusia mengabulkan keinginan spritualitas rohaninya "disulap" menjadi mata batin lukanya. Kini, yang ada kampung berdekatan dengan lampu-lampu gemerlap: ADA NHM, ANTAM, IWIP, PRIVEN, HARITA dan SELURUH GEDUNG-GEDUNG MANUSIA PEKERJA; layak seperti Tetanic---yang mati tenggelam dalam samudera raya. 

Apalah Daya, Hidup Berkubang Doa:

Tak tersisa, dan patuah akan mengunyah sabda kampungnya dengan sisa-sisa ritual penyesalan, penyelamatan, harapan dan mimpi---padahal jadi kosong tak berdaya. Merasa bersalah [jadi nostalgia], sayup-sayup mengingkari kesalahannya---karena khianat terhadap alamnya, adatnya, saudaranya, seluruh hak manusiawi. Dan anak-anak muda sebelumnya, dahulu kala pernah bersama menerima, mendukung, menolak, melawan, khianat, "seperti karma semesta" memangsa saudaranya sendiri. Hidup jadi "tragedi juga jadi komedi".

Sekali Lagi Adalah Ratapan Layu, Patah dan Pasrah:

Sedih, lalu apa boleh buat, sebuah khianat memulai kekalahan panjang---beban pada anak cucu hari ini. Mereka pernah menghalangi, berbaris dengan tarian perang, mengumpulkan barisan massa, menolak pembangunan orang asing yang datang mengeruk kekayaan dan mendustakan semua janji kesejahteraan. Lapangan kerja, lapangan kerja, lapangan kerja, adalah seperti cermin kaca memantulkan hasil sejarahnya, yang benar adalah pengangguran, dan mendapatkan recehan-recehan menetes kebawah, saling bunuh-bunuhan, ribut, tak adil, rampasan, itupun diambil dari sebagian besar elit lokal, termasuk patuah dan anak-anak muda jadi maling. 

Nafas Panjang, Kami Masih Melawan


!! 

Kami Hidup Kembali, Generasi Yang Memikul Beban Dosa dan Kesalahan Masa Lalu: Generasi Haram Jaddah Sejarah. Kami Melawan: Kami, tak akan nyerah, kami akan tetap mengakui kesalahan dan kekalahan "MENABUNG MENJADI SABDA MILITANSI: Kami terhormat karena bermartabat. Tentu, kami takzimi, bahwa; melawan belum tentu kalah! Hayo bangkit lagi! Kibarkan bendera perlawanan! 

(Victor Zapata || 2 Agustus 2023)