Isu kesetaraan gender perlu pendiskusian secara terus menerus, karena permasalahan seputar gender terus bermunculan tanpa Jeda. Dalam lintas oragnisasi permasalahan ini menjadi proritas dan tidak bisa dilepaspisahkan dari masalah lain. 

Organisasi tentu memegang suara untuk perubahan, Namun sayangnya ketimpang gender secara horisntal menjamur dari satu individu ke individu lain maupun vertikal. Ini bisa disaksikan dilintas organisasi yang besar dan perkumpulan perkawanan yang paling kecil, seperti teman kuliah, yang masih melangenggkan bentuk-bentuk kekerasan. 

 Kenapa melanggengkan, karena menggap isu kekerasan terhadap perempuan mislalnya bukan bagian dari masalah sosial. Mirisnya lagi individu yang melakukan kekerasan adalah dia yang tak luput dari seputar pendiskusian gender dan feminis, bahkan aktif berjuang tentang kesetaran dan prablem sosial lainnya.  

Justru wadah ini menghantar kita menjadi manusia yang lebih peka dengan kondisi civil society. Membicarakan soal kesetaraan tentu harus dipraktekan, dan bagaimana memparkatekkan, selain semua berteriak menuntut negara yang inkulusif, sebagai individu menjadi manusia yang setara tentu sangat penting. Kenapa ini penting? 

Bukankah memulai perubahan itu dimulai dari orang-orang terdekat dulu, perempuan, kawan, keluarga, tetangga, dan anak-anak, atau bersama pasangan. Misalnya, kalau kamu punya pacar/pasangan, tidak boleh ekspolitasi seksual, jangan ada relasi kuasa, sok-sokan main instruksi ini instruksi itu, mengikuti apapun yang sesuai kehendakmu, tidak boleh ada kekerasan dalam bentuk apapun. 

Ini yang tidak boleh kamu lakukan ke satu manusia saja. Ingat satu manusia saja!  

Kenapa individu tidak boleh mengabaikan hal-hal yang menurut kaum pelaku, kekerasan berbasis individu adalah sepele? 

Karena perilaku buruk, yang dilakukan memungkinan memengaruhi kebijakan ketika individu tersebut menduduki suatu jabatan tertinggi. Misalnya jika orang tersebut menjadi pemimpinan di kampus ia bisa saja mengabaikan masalah kekerasan seksual di kampus, tidak menganggap penting seputar kejadian pelecehan di kampus bahkan berpotensi melakukan kekerasan seperti dosen terhadap mahasiswa seperti kasus  Agni pada  tahun  2019 di  UGM,  dan beberapa kawan di kampus Ternate pernah dilecehkan . 

Ini juga berpengaruh pada pimpinan politik negara bahkan partai politik. Rupanya tak kala jauh berbeda juga dalam ruang-ruang organisasi. Banyak sudah yang menjadi korban namun ada yang tidak melapor, ada pula pelaporan tak kunjung selesai. 

Masalah yang berhubungan antar satu individu ini dianggap masalah pribadi, beberapa organisasi bahkan memutuskan untuk tidak ikut campur dan kembali menjustis korban tanpa ampun. 
 
Dan anehnya, kelompok ini terlihat seperti tidak bersalah dan biasa-biasa saja, meskipun kader-kader sudah melakukan perbuatan diluar nalar. Perbuatan kekerasan terhadap pasangan dan bukan masalah, bahkan praktik itu berkali-kali. diluar sana mereka terlihat seperti heroik atas segala masalah, namun dalamnya menyembunyikan bangkai-bangkai yang busuk. 

Tampaknya banyak yang melakukan itu, tapi berlagak bego dan masa bodoh. Pembiaraan dan memperakektekan kekerasan ke orang-orang, berulang kali tanpa sadar. Telah memparaktekan budaya patriakhi. 

Dalam sejarah lahirnya patriakhi berbarengan dengan lahirnya privatisasi alat produksi. Alat produksi sendiri di miliki sekelompok orang atau individu untuk kepentingan mereka dengan mengabaikan kepentingan orang banyak. Maka patriakhi adalah bagian dari kapitalisme. Sehingga perlawanan atau gerakan sosial tidak boleh mengabaikan kekerasan terhadap perempuan anak-anak dan gender lainnya. 

Jadi mereka yang sedang membangun gerakan mengatasnamakan gerakan kemanusiaan tetapi disatu sisi patriaki, mengeksplotasi dan melakukan kekerasan terhadap perempuan kita sebut apa yah? Coba deh, diperiksa dulu isi kepalanya.

Penulis Ra  Asia  Mahera